Cerpen
Posted in cerpen
Lembut
belaian kasihmu tak ada duanya di dunia ini, kehangatan yang kau
berikan sungguh mampu mendamaikan hati, kau adalah malaikat penjaga di
saat kuncup-kuncup bunga terlahir ke dunia ini, kau curahkan kasih
sayang sepenuhnya milikmu, merawat dan mengajari hingga tumbuh menjadi
permata kehidupan, permata yang bersinar hingga ke langit, kasihmu
sepanjang jalan, cintamu abadi, senyummu adalah embun pagi yang
menyejukan, dunia ini tak bersemi jika tak ada hadirmu diantaranya.
“Asalamu’alaikum bu’ berangkat dulu….”
“Eee… cium tangannya mana…?”
“Oiya… mmmmucah…”
“sudah punya uang saku nak’…”
“sudah
bu’… sisa yg kemaren masih ada…” kataku sambil berlari mengejar
teman-teman yang hendak berangkat sekolah. Kehidupanku penuh dengan
kasih sayang dan keceriaan setiap hari selalu dalam tawa keceriaan
belajar dan bermain itulah fase hidup yang sedang kujalani kini. Setiap
pulang sekolah telah tersedia pakaian ganti dan makanan khusus yang
istimewa untukku bahkan setiap saat makan selalu istimewa, pernah suatu
ketika saat ekonomi kami sedang dalam masa-masa kritis hanya sekedar
membeli beras pun tak sanggup, kami punya kebun singkong di pekarangan
rumah, sebagai ganti dari nasi jadilah singkong dibuat menjadi oyek,
oyek kami menyebutnya seperti itu’ nasi dari singkong, ibu tau jika aku
tidak menyukai oyek, dan pasti aku tak akan memakan makanan itu. Tanpa
sepengetahuanku ibu meminta nasi barang sepiring kepada tetangga ituah
yang selalu ibu lakukan jika persedian beras sedang habis, sebagai rasa
terimaksih ibu kepada tetangga jika ibu membuat kue ibu menyisakan kue
untuk dibagi ke tetangga, semua itu diakukan ibu dengan tulus hanya
untukku. Tak jauh berbeda dengan nasinya lauk tempe goreng yang hanya
ada dua potong itu pun diberikannya satu untukku dan satunya lagi untuk
ayah ibu hanya cukup makan dengan oyek dan lauk ampas yaitu parutan
kelapa yang dibubuhi garam. Apapun dilakukan Ibu dan Ayah agar roda
kehidupan kami tetap berjalan, Ayah hampir setiap hari pulang larut
malam pekerjaanya adalah membuat cobek dari batu kali, setiap hari ayah
bisa menghasilkan Lima belas cobek, jika harganya sedang normal satu
cobek dihargai Seribu Limaratus per buah, sementara ibu juga jarang di
rumah ibu sering menjadi buruh pemetik padi, pemetik buah melinjo dan
buruh pencabut rumput di kebun tetangga apapun yang dapat menghasilkan
uang ibu bersedia mengerjakannya hanya sekedar untuk membantu ekonomi
keluarga. Jelas setiap malam hari adalah waktunya istirahat, baik ayah
maupun ibu pasti kelelahan seharian bekerja, memijat tangan ibu itulah
yang kuakukan jika waktu malam tiba kemudian dilanjutkan dengan memijat
punggung ayah, biasanya sebelum beranjak ketempat tidur kami
bercengkrama sebentar di ruang tamu, dan akhirnya seluruh ruangan rumah
menjadi gelap gulita untuk menghemat tagihan listrik semua lampu
dimatikan.
“bu’ tipasin aku kegerahan…, bu besok aku mau dibeliin buku gambar ya..”
“iya… nak,,,”
“yang warnanya merah…, yang ada gambar robotnya…”
Setiap
malam selimut kasih sayangnya selalu menghangatkan tidurku mengantarku
hingga jauh ke negeri kapuk dengan tenang dan damai, di elus-elusnya
keningku hingga ku terlelap dengan sendirinya, mengiyakan semua
permintaan yang ku terkesan rewel minta ini itu semauku, kadang aku
marah pada ibu karena tidak mengabulkan salah satu permintaanku padahal
jelas-jelas ibu sudah berkata iya’ padaku.
Akhir-akhir ini ibu lebih sering merenung berdiam diri, anak keduanya
satu-satunya anak perempuan ibu akan segera melakukan pernikahan, dua
minggu lagi menikah dengan orang jauh berbeda provinsi, istri pasti akan
mengkuti jejak suaminya tinggal bersama sang suami yang jauh disana.
setelah kakak pertamaku yang merantau dan juga menikah dengan orang
jauh. ibu selalu merindukan anak-anaknya dari enam anaknya semuanya
telah merantau kecuali aku yang masih tinggal bersamanya, hampir hanya
satu tahun sekali kami saling berjumpa yaitu dalam suasana lebaran, saat
idul fitri adalah hari sangat membahagiakan untuk ibu terlihat jelas
raut wajahnya yang cerah saat berkumpul dengan para buah hatinya. Ibu
akan menyuguhkan banyak sekali makanan dan kue-kue buatannya sendiri di
hari istimewa itu, akan melayani para buah hatinya bagaikan si mbok
melayani majikannya. Tapi menunggu saat itu masih lama walau hanya
sekedar dibayangkan ibu, masih Enam buan lagi. Kadang ibu menerima
pesanan membuat kue, ibu jago jika membuat kue dan setiap kali akan
membuat kue maka aku akan hadir di situ untuk menjadi orang pertama yang
mencicipinya, dan tentu juga membantunya tidak Cuma membuat kue saat
memasak pun aku ada untuk membantunya, makanya aku bisa membuat kue,
memasak, merajut dan melakukan hal-hal lainnya yang biasa dikerjakan
oleh perempuan,
“ibu kenapa, ibu menangis…?”
“ibu tak menangis nak’…”
“ayo lanjutin bikin kue’nya.., itu daun pisangnya dilappin …”
“ibu… baca surat dari siapa…?”
“bukan apa-apa,… tolong masukkin kepanci kue pipisnya nak…’”
Jelas
kulihat kelopak matanya dipenuhi genangan air mata, apa namanya itu
jika bukan menangis hatiku trenyuh sekali jika melihat seseorang
menangis apa lagi itu ibuku sendiri aku seolah ingin menangis
bersamanya. Kulihat surat itu di atas meja ruang tamu apa kiranya yang
membuat ibu menangis semkin penasaran ku diabuatnya pelan-pelan ku buka
amplop putih Air Mail itu, ku lihat isinya dengan seksama satu-satu ku
eja Jombang, 12 Juli 2007 surat ini dari kak’ Rodo kakak pertamaku, di
surat tertulis ananda Rodo lebaran tahun ini tidak bisa pulang karena
istrinya tengah mengandung Delapan Bulan kwatir jika nanti terjadi
apa-apa di perjalanan, kakak minta maaf tidak dapat berkumpul bersama
keluarga saat lebaran nanti mungkin baru bisa bersilaturahmi setelah
istrinya itu melahirkan sehabis lebaran. Aku mengerti
kesedihan-kesedihan yang membuat ibu menangis, umur ibu kini memasuki
Lima puluh Lima tahun aku semakin mengerti yang orang tua butuhkan kini
bukan segenggam emas yang kau berikan untuk menukar kebahagiaan bukan
sekoper uang untuk membahagiakan ibu, atau segudang materi. Seorang ibu
akan sangat merindukan kehadiran putra-putrinya di usia tua,
memberikannya kasih sayang yang tulus sebagaimana seorang ibu menyayangi
buah hatinya diwaktu kecil, ibu tua menginginkan perhatian dan cinta
disaat raga mereka terasa lemah dan tak berdaya lagi.
Lulus dari sekolah menengah kejuruan membuatku harus segera bekerja di
sebuah perusahaan atau PT, lulusan SMK sudah dicetak khusus untuk
bekerja, berbeda dengan SMU yang setelah lulus dilanjutkan dengan kuliah
di Universitas, keinginanku masuk ke SMU tertahan karena jelas
keluargaku tak akan mampu membiayaiku jika harus kuliah. setelah
melewati Tiga tahun kelulusan pasti akan sulit mencari pekerjaan kembali
di PT, untuk itu harus dengan segera mendaftar bekerja di PT, namanya
juga PT kerja keras menggunakan segenap kekuatan fisik itu yang di
unggulkan, sering kami yang menjadi karyawan PT disebut sebagai kuli.
Yang masa kerjanya menggunakan system kontrak saat ini hampir tidak
mungkin untuk dapat diangkat menjadi karyawan tetap sebuah perusahaan,
itulah kenyataan pahit yang harus dihadapi para lulusan SMK, bisa
dihitung saat usia melebihi Dua puluh enam tahun perusahaan akan menolak
untuk menerima sebagai karyawan lagi. Nasib sebenarnya dimulai dari
sini banyak yang menganggur, sebagian ada yang berwirausaha seadanya
atau yang lebih cerdas adalah mereka yang menabung di waktu menjadi
karyawan dan setelah tiba masa tak produktif lagi di PT mereka membuka
sebuah usaha dari hasil tabungan tersebut. Ya tapi itupun tak banyak
yang melakukannya terkadang hanya orang-orang yang benar-benar pintar
dalam memanajemen keungan yang bisa. Bekerja jauh dari keluarga jauh
dari ibu membuat hatiku tak tenang sepenuhnya dimalam-malam sendiri
terbayang akan senyuman ibu yang penuh dengan kasih sayang itu,
“bu… sedang apa kau kini di kampung…?”
“baik-baik… selalu ibu, aku menyayangimu…”
“aku akan segera pulang… membawakan oleh-oleh wingko babat kesukaan ibu…”
Saat
ku terbayang wajahnya yang selalu cerah diwaktu berjumpa denganku,
diliputi kerutan-kerutan keningnya dihiasi senyuman lebar lesung pipi
yang bulat dan sentuhan lembut akan semakin bertambah kangenku dengan
ibu, ku khwatir saat ini ibu sedang menangis Sembilan bulan lamanya kita
tak berjumpa.
Umur semakin matang saja, kontrak Satu tahunku telah habis, apa boleh
buat untuk sementara ini ku tinggal di rumah sambil menunggu panggilan
dari perusahaan lain yang kemungkinan bersedia menerima surat lamaran
yang telah kukirim sebelumnya, kini di rumah ada aku bapak dan ibu
seperti kembali ke masa dulu saja sebelum ku pergi merantau, ibu masih
saja sering memanjakan aku, kini ibu lebih sering membicarakan
masalah-masalah kehidupan denganku mungkin karena sekarang usiaku sudah
dianggap dewasa,
“nak’… menikahlah dengan orang satu desa sini ya…”
“ah’… belum terpikirkan olehku bu….”
“nak’ kan tau semua saudaramu satu-persatu telah menjadi orang jauh…ibu tak ingin ditinggal lagi….”
“hmm… iya insyaAlloh bu’…”
“kamu tak kasihan sama ibu… nanti siapa yang mengurusi ibu disini….”
Tak
banyak kata, ku alihkan perhatian ibu dengan topik lainnya “jangan ada
kesedihan lagi bu…aku tak sanggup jika harus melihat ibu meneteskan air
mata lagi” panggilan dari PT tak kunjunga datang sudah Tiga bulan
lamanya, aku tak bisa seperti ini terus segera mencari pekerjaan baru
itu yang harus kulakukan menganggur di kampung tanpa penghasilan hanya
akan menjadi beban, sementara kini fisik ayah sudah mulai lemah dan
sering sakit-sakitan sudah tak mampu lagi membuat cobek. Batinku semakin
tak enak saja untuk berlama-lama membebani mereka. Aku punya seorang
sahabat Nanang namanya yang memberikan informasi tentang sebuah
pekerjaan yang gajinya hampir Lima kali lipat pekerjaan di PT, terang
saja ku bersemangat menanggapi hal itu. Ku benar-benar tertarik ingin
sekali mengambil pekerjaan itu jika sebesar itu gaji yang aku peroleh
Lima tahun saja ku bisa membangun toko atau tempat usaha dari tabungan
penghasilan pekerjaan itu. Segera lewat SMS ku Tanya saja dengan
semangat.
“bagaimana Nang… dengan pekerjaan yg kemaren…”
“kamu berminat pa…?”
“sangat berminat….”
“kalo kamu berminat segera ku uruskan Pasportnya, nanti masalah biaya dipotong gaji…”
“lho emang pekerjaannya dimana…?”
“Di korea sana…. Bagaimana…?”
“owh… di luar negeri tho…., ya nanti aku kabari lagi. Trimakasih sebelumnya Nang….”
Berpikir
habis-habisan ku setelah SMS malam itu, ku harus Tanya Ayah juga ibu
dan mendapat persetujuannya sebelum akhirnya ku ambil keputusan. Keadaan
ibu kini sudah membaik sebelumnya ibu menginap tiga hari di Puskesmas
karena terkena typus sekarang sudah bias beraktifitas seperti biasa.
“bagaimana nak…jadi berangkat…?”
“jadi bu… insyaAlloh minggu depan…ibu jangan khwatir ya nanti kan ada bibi yang nemenin ibu dirumah,,,”
“ibu takut tak bisa berjumpa denganmu lagi nak’…”
“hust….??? Ibu….. ibu kan maih sehat-sehat saja…tak akan terjadi apa-apa… ”
Dari
kecil hingga kini ku dewasa ibu selalu menuruti permintaanku dan tak
melarang apa kemauanku bahkan untuk yang ini, aku akan ke luar negeri
selama Lima tahun dan selama itu aku tak akan berjumpa dengan ibu, Berat
sekali meninggalkan ibu, sekali lagi tetesan airmata ibu yang berharga
itu menetes dipundakku dan membasahi pipiku dirangkulnya ku
erat-erat.”ibu… sudahlah… aku akan kembali pulang untuk ibu…”.
Satu minggu meginap di tempat penampungan TKI di Jakarta kemudian hari
ini saatnya berkemas mempersiapkan segala sesuatu keperluan-keperluan
yang dibutuhkan nanti. Sore sampai dibandara rencananya jam Empat ini
berangkat meninggalkan Indonesia, tapi jadwal penerbangan tertunda
hingga nanti jam Lima, pukul Empat lima puluh kuangkat ransel menuju
pesawat keberangkatan selang beberapa langkah Handphoneku berbunyi
telepon dari rumah,
“ibu di rumah sakit…. Typusnya kambuh lagi…”
“di rumah sakit…??? Apa penyakitnya sudah parah….:???”
“sudah Dua hari yang lalu…. Baru saja dirujuk dari puskesmas…ibu nyebut-nyebut nama kamu terus…”
“sekarang bagaimana keadannya… ??? aku ingin bicara bias ga…???”
“bisa… ibu memang ingin bicara dari kemarin….”
“ibu… ibu…. Bagaimana keadaan ibu…..???”
“nak…. Pulang nak….”
Hanya
itu kata terakhirnya, suranya merintih dan ibu terdengar gemetar.
Sementara panggilan untuk penumpang segera memasuki pesawat akan segera
berangkat telah diserukan lewat microphone bandara. Memejamkan mata ku
renungi apa yang harus kulakukan kini…
“ibu aku menyayangimu…”
Tak
berpikir panjang lagi tak akan kutorehkan sejarah yang akan membuatku
menyesal seumur hidupku kelak. Pukul Enam di terminal…
“Pak’ satu tiket ke Kebumen Jawa tengah…
0 komentar: