Kamis, 02 Mei 2013

0

Mkalah Ushul Fiqh

Posted in

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
            Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath  hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah(sebag ian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al_'Urf  (selanjutnya
disebut sebagai 'urf atau adat).Makalah ini akan menguraikan
tentang hakikat al-'urf
 tersebut, bagaimana pandangan para ulama tentangnya, serta beberapa hal lain yang terkait dengannya. Wallahul muwaffiq.
B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini
kami akan membatasi masalah kami yaitu :
·         Apa pengertian 'urf dan adat ?
·         Pembagian 'urf ?
·         Bagaimana kedudukan urf sebagai dalil syara?
·         Syarat 'urf dan adat

C.Tujuan Masalah   
·         Mengetahui pengertian urf
·         Mengetahui pembagian urh
·         Mengetahui kedudukan urh sebagai dalil syara
·         Mengetahui syara urf dan adat                                                                                                                                
D. Manfaat
             Dalam penulisan makalah ini, manfaat yang dapat kita peroleh yaitu:
·         Mengetahui lebih dalam tentang pengertian urf dan pembagian-pembagianya
·         Mengetahui kedudukan urf sebagai dalil syara

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian 'Urf dan Adat
 Sebelum berbicara jauh membahas masalah 'Urf sebaiknya membahas pengertiannya terlebih dahulu. Berikut ini kami akan memaparkan beberapa pendapat ulama mengenai pengertian 'urf, diantaranya 'urf secara etimologi berasal dari kata arafa, yu'rifu (عرف-يعرف) sering diartikan dengan al-ma'ruf (المعروف) dengan arti sesuatu yang dikenal atau berarti yang baik.kalau dikatakan فلان اولي فلان عرفا ( Sifulan lebih dari yang lain dari segi urfnya), maksudnya bahwa seseorang lebih dikenal dibandingkan dengan yang lain. [1]
       Sedangkan menurut abdul Wahab Khallaf 'urf adalah Segala apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya baik berupa perkataan, perbuatan
ataupun meninggalkan sesuatu .[2]
 Ada juga yang men
definisikan 'urf adalah apa-apa yang dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perbuatan maupun perkataan.
Imam al-Ghazali pun memberikan pengertian urf sebagai berikut : Keadaan yang sudah tetap pada jiwa manusia, dibenarkan oleh akal dan diterima pula oleh tabiat yang sehat.
Adapun
badran mengartikan 'urf dengan :
Apa-apa yang dibiasakan dan diakui oleh orang banyak, baik dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan, berulang dilakukan sehingga berbekas dalam jiwa mereka dan diterima baik oleh akal mereka  Sebagai contoh adat kebiasaan yang berupa perbuatan (urf amali) seperti jual beli muathah (بيع الماطاه) yakni jual beli dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan ijab qabul, karena harga barang tersebut sudah dimaklumi bersama.[3]
       'Urf berbeda dengan ijma' disebabkan karena 'urf itu dibentuk oleh kebisaan-kebiasaan
orang yang berbeda-beda tingkatan mereka, sedang ijma' dibentuk dari persesuaian pendapat khusus dari para mujtahidin. Wahbah Azzuhaily berpendapat mengenai hal ini beliau mengatakan ijma' dibentuk oleh kesepakatan para mujtahid dari ummat Rasulullah SAW setelah wafatnya terhadapat suatu masalah, tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum
kecuali melaluli hukum syar'i dan kadang sampai kepada kita dan kadang pula
tidak sampai dan ijma' dianggap sebagai hujjah yang mengikat.
       Sedangkan urf menurut beliau tidak disyaratkan adanya kesepakatan, dan tidak dituntut pula bersumber dari dalil syra'i dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat selamanya karena 'urf ada yang shahih dan ada pula yang fasid.[4]
Setelah membahas pengertian 'urf maka timbul pertanyaan apa perbedaan antara 'urf (العرف) dan adat (العادة ), sebagian ulama ushul fiqhi berpendapat bahwa urf disebut juga adat (adat kebiasaan) sekalipun dalam pengertian istilahi tidak ada perbedaan antara 'urf dengat adat. Mengutip Dalam buku ushul fiqhi islami karya Wahbah Azzuhaily beliau mengatakan "sebagian ulama ushuliyyin berkata sesunguhnya kata 'urf (العرف ) dan kata adat (العادة) merupaakan kata sinonim seperti diungkapkan Ibnu Abidin, dan ar-Rahawy dalam bukunya syarhul manar, dan Ibnu Najim dalam bukunya al-Asybah wa an-Nadzair. Dan kedua kata tersebut bermakna sesuatu yang sudah tetap pada manusia, dibenarkannya
oleh akal dan diterima pula tabiat yang sehat. berkata sebagian ushuliyyin yang lain seperti Ibnu al-Hammam al-Bazdawydal dalam bukunya al-talwih 'ala at-Taudih: sesungguhnya 'urf lebih umum dari pada adat, 'urf tercakup 'urf qauly dan 'urf amaly, dan sedangkan adat hanya
dibatasi pada 'urf amaly saja.
       Sedangkan menurut Ibnu Amrdan yang sepakat dengan beliau dari ulama muhadditsin
seperti syekh fahmy dalam bukunya al-adat wa al-urf fiy ra'yi al-fuqahai:”sesungguhnya adat lebih umum dari pada urf".[5]


B.    Pembagian 'Urf
 Ulama ushul fiqhi membagi Urf menjadi tiga macam:
·         Dari segi objeknya, urf dibagi kepada 'urf lafdzy dan 'urf amali
       'Urf  lafdzi ((العرفاللفظي) adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang difahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.
Contohnya: ungkapan "daging" mencakup seluruh daging yang ada.
Apabila seseorang penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan "saya beli daging satu kilogram" pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan daging pada daging sapi.
         Urf  amali kebiasaan masyarakat yang berkaitan degan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Adapun yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan oang lain, seperti kebiasaan libur kerja dalam satu minggu.[6]
·         Dari segi cakupannya,' urf dibagi dua,yaitu 'urf amm dam 'urf khash
         Urf 'amm (العرف العام)  adalah 'urf yang berlaku pada sesuatu tempat, masa, dan keadaan. Atau kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruhdaerah.
Contohnya: seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada
kita.
        'Urf khash (العرف الخص) adalah urf yang berlaku hanya pada suatu tempat, masa dan keadaan tertentu saja, atau kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.
Contohnya: mengadakan halal bihalal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang
beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan ramadhan, sedang pada Negara-negara islam lain tidak melakukannya.
·         Dari segi keabsahannya dari pandangan syara', 'urf dibagi menjadi 'urf shahih dan 'urf sid.
        Urf shahih (العرف الصحيح) adalah apa yang telah menjadi kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan dalil syara' dan tidak menghalalkan sesuatu yang telah dianggap haram oleh syara' dan tidak membatalkan yang wajib.
Contohnya : mengadakan pertunangan sebelum melangsungka pernikahan, dipandang baik, telah
menjadi kebiasaan dalam masyarakat, dan tidak betentangan dengan syara'.
  'Urf fasid (العرف الفاسد) adalah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang, berlawanan dengan ketentuan syariat karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib, misalnya perjanjian-perjanjian yang bersifat riba, menarik hasil pajak penjudian dan lain sebagainya.[7]

C.    Kedudukan 'Urf  Sebagai Dalil Syara
        'Urf shahih harus dipelihara oleh seorang mujtahid didalam menciptakan hukum-hukum dan oleh seorang hakim dalam memustuskan perkara. Karena apa yang dibiasakan dan dijalankan oleh orang banyak adalah menjadi kebutuhan dan menjadi mashlahat yang diperlukannya. Selama kebiasaan tersebut tidak berlawanan dengan syariat, haruslah dipeliharanya. Atas dasar itulah para ulama ahli ushul memberi kaidah  al-Adah muhakkamah " العادة محكمة" (Adat kebiasaan itu merupakan syariat yang ditetapkan sebagai hukum)
       'Urf fasidah tidak harus diperhatika, karena memeliharanya berarti menentang dalil syara'. Oleh karena itu, apabila sesorang membiasakan mengadakan perikatan-perikatan yang fasid, seperti perikatan yang mengandung riba atau mengandung unsure penipuan maka kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak mempunyai pengaruh dalam menghalalkan perikatan tersebut. Hanya saja perikatan-perikatan semacam itu dapat ditinjau dari segi lain untuk dibenarkannya. Misalnya dari segi sangat dibutuhkan atau dari segi darurat. Dengan demikian itu dengan alasan darurat, bukan karena sudah biasa dilakukan oleh orang banyak.[8]

D.    Syarat 'Urf dan Adat
Para ulama ushul fikih menyatakan bahwa 'Urf dapat dijadikan sebagai salah
satu dalil dalam menetapkan hukum syara', jika memenuhi syarat sebagai berikut:
·         'Urf itu (baik yang bersifat umum atau khusus atapun yang bersifat perbuatan atau ucapan) berlaku secara umum, artinya urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas
masyarakat.
·         'Urf  itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya. 'Urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitanya dengan ini terdapat kaidah ushuliyyah yang berbunyi: 'Urf yang datang kemudian tidak dapat dijadikan sandaran hukum terhadap kasus yang telah lama.
·         'Urf tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan.
·         'Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash itu tidak bisa ditetapkan.'Urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara', karena kehujjahan 'urf bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahnnya yang dihadapi.[9]
 
BAB  III
PENUTUP
Kesimpulan

Dari uraian singkat di atas, pada bagian penutup ini kita dapat menyimpulkan beberapa hal terkait dengan pembahasan 'urf ini sebagai berikut:
1.Bahwa 'urf dapat dijadikan sebagai dalil dalam. menetapkan hukum sebuah permasalah selama tidak bertentangan dengan dalil nash walaupun terjadi perbedaan ulama seputar kehujjahannya.
2
.Bahwa 'urf merupakan sebagai salah satu metode ijtihad dengan menggunakan ra'yu.
3.Bahwa 'urfsesungguhnya dapat dikatakan mewakili sisi kemudahan yang diberikan oleh Islam melalui syariatnya.
Demikianlah uraian singkat penulisan ini, dengan berbagai macam kekurangan semoga dapat menjadi langkah awal bagi penulisnya –secara khusus- untuk semakin memahami keindahan Islam melalui disiplin ilmu Ushul Fiqih di masa datang. Wallahu a'lam

Daftar Pustaka

 Azzuhaily Wahbah,Ushul Fiqh Islami jilid II,(Beirut:Dar Fikr, 2006) ,cet
I
Jumantoro Totok, Kamus
ilmu Ushul fiqih,(Jakarta:Amzah, Jul 2005),cet I
Khallaf Abdul Wahab,'Ilmu Ushul Fiqh, (Qahirah: Dar Hadits, 2003 M, 1423 H) XIII
Musbikin Imam, Qawa'id
Al-Fiqhiyah,(Jakarata: Raja Grafindo, 2001), cet I
Yahya Mukhtar, Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: Al-Ma'arif, 1993) cet III


[1] Totok juwantoro, Ilmu Ushul Fiqih,(Jakarta:Amzah, jul 2005),cet  I,hal 333            
[2] Abdul wahab khllaf, ilmu ushul fiqih,(qahirah: Dar Hadist, 2003), cet XIII
[3] Yahya mukhtar, dasar dasar pembinaan hukum ushul fiqih ,(Bandung 1993), cet III
[4] Wahbah azzuhauly, ushul fiqh islam jil II,(Beirut:Dar fikr,2006), cet I
[5] Wahbah Azzuhaily, op.cit                                        
[6] Samsul munir amin, , Ilmu Ushul Fiqih,(Jakarta:Amzah, jul 2005),cet  I,hal 336
[7] Totok jumantoro, op. cit
[8] Yahya mukhtar, 0p.cit
[9] Totok jumantoro, op.cit

0 komentar: